Syarat Sah suatu Perjanjian

Syarat Sah suatu Perjanjian

KUHPerdata mengatur tentang syarat suatu perjanjian agar dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah dan berlaku di mata hukum, tepatnya pada Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi : 

Pasal 1320 

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Jika diteliti lebih lanjut, syarat suatu perjanjian untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah tidak hanya terdapat di Pasal 1320 KUHPerdata, namun juga terdapat di pasal-pasal selanjutnya, atau lebih tepatnya hingga Pasal 1337 KUHPerdata dan pasal lain yang lebih spesifik. 

Suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata terbagi menjadi dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif terdapat dalam ayat 1 dan 2. Syarat subjektif sendiri adalah syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak pada perjanjian tersebut.  Bilamana syarat subjektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tetap mengikat, namun dapat dimintakan pembatalan oleh pihak. Syarat subjektif yang dimaksud adalah : 

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan adalah suatu tindakan menyetujui kehendak dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk melaksanakan sesuatu hal. Jika telah terjadi kesepakatan yang nantinya melahirkan perjanjian dan juga perikatan pada saat yang bersamaan. maka juga muncul hak dan kewajiban bagi pihak debitur dan pihak kreditur, seperti halnya dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.

  1. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membuat perikatan, kecuali orang tersebut dinyatakan tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum. Jika merujuk kepada Pasal 1330 KUHPerdata, maka seseorang yang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perjanjian adalah : 

  • Anak yang belum dewasa;

Anak yang belum dewasa sendiri menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah seseorang yang berada di bawah umur dua puluh satu (21) tahun dan belum kawin sebelumnya, sementara anak yang telah kawin dianggap sebagai orang yang cakap. 

Namun, ketentuan mengenai kedewasaan seseorang dalam peraturan hukum di Indonesia sedikit rancu, karena terdapat batas umur kedewasaan yang berbeda di beberapa peraturan. Misalkan di  Surat Edaran Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan menetapkan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

  • Orang yang berada dalam pengampuan

pengampuan adalah keadaan seseorang yang disebut curandus karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum

Pengampuan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengampu orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum. Pada Pasal 433 hingga Pasal 462 KUHPerdata, disebutkan bahwa orang yang dianggap tidak cakap adalah seseorang yang karena keadaan dungu, sakit otak, mata gelap (tidak dapat berpikir terang) maupun boros.

  • Perempuan yang telah menikah (Tidak berlaku dengan keluarnya ​​SEMA No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) 

Pada ayat 3 dan 4 merupakan syarat objektif. Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian. Bilamana dalam suatu perjanjian, syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat objektif yang dimaksud adalah : 

  1. Suatu persoalan tertentu

Persoalan tertentu yang dimaksud adalah suatu objek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, bisa berupa jasa ataupun benda. Pencantuman objek perjanjian harus secara jelas dicantumkan agar perjanjian memiliki kepastian. Kepastian suatu objek perjanjian dapat diukur dengan dihitung dan dinilai. Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu

kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.”

Yang dimaksud suatu hal tertentu dalam syarat perjanjian agar dinyatakan sah adalah objek perjanjian yaitu prestasi misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata.

Selanjutnya, dalam Pasal 1234 KUHPerdata disebutkan mengenai suatu hal tertentu itu sendiri yaitu prestasi untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu dalam KUHPerdata dianggap sebagai kebendaan, berwujud ataupun yang tidak berwujud  dan sudah disepakati sebelum perjanjian dibuat.

  1. Suatu sebab yang halal

Selanjutnya mengenai pengertian sebab tersebut tidak dijelaskan lebih

terperinci dalam KUH-Perdata. Akan tetapi Pasal 1335 KUH-Perdata menyatakan

bahwa sebab yang halal itu adalah :

1. bukan tanpa sebab;

2. bukan sebab yang palsu

3. bukan sebab yang terlarang

Suatu sebab yang halal menurut KUHPerdata dideskripsikan dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan bahwa sebab yang halal adalah :

  1. Bukan tanpa sebab;
  2. Bukan sebab yang palsu;
  3. Bukan sebab yang terlarang

Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan suatu sebab terlarang (lawan dari suatu sebab halal) merupakan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, suatu sebab yang halal adalah segala hal yang tidak termasuk ke dalam suatu sebab terlarang, seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Leave a Comment